This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 29 Februari 2012

Terkini Pssi (Maaf) Sudah Gagal

Tak berlebihan jikalau makin banyak orang nyeletuk begini: urusan PSSI sama rumit dengan urusan negara. Problem bukan menyusut, melainkan malah menumpuk.

Ketika di tingkat negara Presiden Susilo 'SBY' Bambang Yudhoyono tampak gagap memproses reshufle kabinetnya dengan hasil yang kesudahannya juga dicibir, PSSI di bawah kendali Djohar Arifin Husin pun begitu di hampir setiap langkahnya.

Suka atau tidak, sealiran atau tidak dalam pandangan politik, di tingkat rakyat kebanyakan kini kian berpengaruh anggapan kinerja pemerintahan SBY tak lebih baik dari pemerintahan sebelumnya. Kehidupan di negeri ini kini tak jadi lebih terang dari sebelumnya. Sekalipun dibandingkan jauh ke kurun Orba yang penuh kontroversi.

Di lingkup yang jauh lebih kecil, yakni dalam urusan sepakbola, tercermin pula keadaan yang tidak membaik itu. PSSI yang katanya harus direvolusi dan itu sudah terpenuhi lewat KLB 9 Juli 2011 di Solo, bukan saja tak lebih baik dari PSSI sebelumnya, tapi malah kian runyam dan tenggalam dalam banyak problem.

Tak berlebihan jikalau makin banyak orang nyeletuk begini Terkini PSSI (Maaf) Sudah Gagal

Tak ubahnya Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) pimpinan SBY yang kian gemuk dan kian tidak taktis cara kerjanya, kelemahan fundamental menyerupai itu pula yang ditunjukkan Djohar dan pasukan reformasinya di PSSI kini.

Cara yang ditempuh PSSI setiap hendak menuntaskan problem kerap justru menyebabkan problem baru. Dari sebegitu banyak problem yang coba diurus sepanjang empat bulan kepemimpinan Djohar, belum ada yang dapat diberesi. Masalah justru melebar, kisruh, dan berbuntut. Ironis.

Lihat saja bagaimana PSSI menihilkan arti sebuah kontrak kerja dalam kasus Alfred Riedl dan antv. Riedl disingkirkan begitu saja dikala sedang bekerja mengasah timnas Pra Piala Dunia 2014. Nasib serupa menimpa antv sebagai pemegang kontrak 10 tahun hak siar kompetisi tertinggi nasional.

Riedl digantikan Wim Rijsbergen yang sama sekali tak terbukti lebih becus. Timnas Indonesia tiga kalah dan (hampir) niscaya gagal ke putaran 4. Sedangkan fungsi antv dialihkan ke MNC Grup dengan tiga stasiun teve nasionalnya. Mutu siaran memang oke, tapi di balik itu ada pihak yang tertindas.

Kinerja PSSI dengan segenap perangkat kerjanya yang tidak clear juga menambah puyeng sejumlah pengelola klub.

Alih-alih memverifikasi kontestan jelang kompetisi demam isu 2011/2012, ujungnya malah konflik yang kian meruncing di internal Arema Indonesia, Persebaya Surabaya, dan yang terparah menimpa Persija Jakarta.

Itu sebab PSSI dan perangkat kerjanya, termasuk Komite Eksekutif (Exco) yang belakangan terbelah-belah, menunjuk pihak yang dinilai sah sebagai pengelola klub condong menurut selera, kedekatan atau kepentingan tertentu.

Tak kalah konyol yaitu keputusan mengangkat Saleh Ismail Mukadar sebagai Deputi Sekjen Bidang Kompetisi PSSI. Konyol, sebab dikala diangkat Saleh masih dalam status diskors.

Saleh terkena hukuman tiga tahun tak boleh aktif mengurusi sepakbola dari Komisi Disiplin PSSI yang berlaku per 24 September 2010. Artinya, hukuman atas diri Saleh mestinya gres berakhir 24 September 2013. Selain itu, status Saleh juga bermasalah di Pengprov PSSI Jatim. PSSI seolah tutup mata terhadap semua itu.

Cukup? Belum. Di dikala vital dan krusial jelang bergulirnya kompetisi yang awalya hendak dimulai per 8 Oktober 2011, PSSI di tangan Djohar dkk malah kian gegabah. Kian kentara tak dapat bekerja lebih baik dari kabinet sebelumnya.

PSSI kabinet reformasi kian masa terbelakang dengan aturan main dan janji yang dicapai dalam kongres yang punya kekuatan aturan dari sisi etika. Dan, kian mempertegas kdberadaannya di balik maksud-maksud tertentu yang selama ini digunjingkan.

Semua itu dengan gampang ditangkap siapapun yang masih kritis dan berniat murni menyehatkan sepakbola nasional. Sebab, PSSI dengan gagah dan penuh percaya diri memplot kontestan kompetisi utama dari 18 jadi 24. Yang enam yaitu 'titipan' dari Liga Primer Indonesia (LPI).

Parahnya, dua di antara enam klub yang dipaksakan masuk itu juga mengusung status terhukum jawaban membelot ke LPI ketika PSSI masih dipimpin Nurdin Halid. Sanksi terhadap PSM Makassar dan Persibo Bojonegoro dijatuhkan dalam Kongkres Bali. Jika ingin dianulir, sesuai statuta, mestinya ya lewat kongres pula.

Kompetisi yang semula dinamai Liga Prima Indonesia, kemudian direvisi jadi Indonesia Premier League (IPL) dan akan berjalan di bawah kendali PT Liga Prima (LPI) Sportindo itu kesudahannya tak terang sampai kini.

Managers meeting, Kamis (13/10) di Hotel Ambhara, Jakarta, deadlock. Ke-24 klub terpecah dua: 14 membelot dan tak sudi berkompetisi di bawah naungan PT LPI, 10 sisanya manut-manut saja sebab sebagian memang eks LPI yang ilegal itu.

Yang sempat digulirkan gres tabrak Persib Bandung kontra Semen Padang di Stadion Si Jalak Harupat, Sabtu (15/10). Entah, skor 1-1 dikala itu mau diapakan PSSI (dianggap ekshibisi atau masuk pdnilaian klasemen IPL), yang terang kompetisi resminya masih tanda tanya.

Dari aktivitas semula 8 Oktober, geser ke 9 Oktober, kemudian ke 15 Oktober dan seterusnya, belakangan malah disebut IPL gres dilanjut sehabis SEA Games XXVI yang berakhir 21 November 2011.

Bagaimana pun nantinya IPL itu dijalankan, dari kerumitan soal kompetisi ini saja PSSI lagi-lagi memang terkesan belum puas melampiaskan misi tebas ganjal terhadap apapun sisa kerja PSSI kurun sebelumnya.

Itu, tak pelak, malah menciptakan PSSI kabinet reformasi tertatih-tatih, penuh blunder, dan kesudahannya terjebak dalam kebingungan.

Itu terlihat dari banyak hal. Ya, hal yang tadinya jalan dan sederhana, di tangan kepengurusan yang kini malah buntu dan jadi ribet. Deadlock soal kompetisi yaitu fakta paling mencolok.

Bayangkan jikalau IPL jalan dengan pemaksaan diikuti 24 klub, aktivitas panjangnya niscaya bakal menabrak kalender internasional. Setiap klub juga mumet memikirkan risiko dari aktivitas superketat dan bertumpukan.

Jadi, selepas melewati 100 hari kerja kabinet Djohar dkk, PSSI memang menyerupai mencerminkan KIB. Serba tumpul dan rumit di tengah problem yang kian menumpuk. Sama sekali belum ada buah karya yang lebih baik dibandingkan seburuk-buruknya kabinet sebelumnya.

Sampai di sini, maaf, PSSI kabinet reformasi tak ubahnya KIB: melulu berlumur kegagalan. Sepakbola negeri ini bakal kian terbenam jikalau mereka yang kini mengendalikan gerak PSSI tak sudi membuka diri untuk segera sadar dan berbenah.

(bramono-sportiplus)