This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 03 Januari 2013

Terkini Peristiwa Diego Mendieta, Saat Para Elite Buta Mata Dan Hati


Sudah sepantasnya para elit politik kita mawas diri, terutama bagi mereka yang suka memelihara konflik dan menerima laba bahan dari iklim sepakbola yang tidak kondusif. Para jampuk kesiangan ini laksana getah yang dibawa ke semak, kasus yang sudah kusut menjadi teramat kusut alasannya perbuatan mereka.

Apakah layak para elit itu masih terus bermain dalam bara konflik, membuat banyak halilintar namun tiada hujan yang tercipta, sementara tidak sedikit korban yang berjatuhan disana-sini baik Tim Nasional, klub sampai para pemain.

Dua tahun terakhir sepakbola Indonesia laksana berjudi dengan nasib. Konflik pelik yang melahirkan dualisme kompetisi bukannya melahirkan kekuatan terbaik untuk mendorong Indonesia bersaing dalam tatanan sepakbola Asia, namun hanya menghasilkan pujian semu, kemenangan sorak meski kalah bersabung.

Rasanya gres kemarin kita menyaksikan Timnas Indonesia jatuh ke jurang keterpurukan, para suporter yang menjadi tumbal konflik, dan kini Diego Mendieta pemain Persis Solo di Divisi Utama PT Liga Indonesia meregang nyawa di tengah minimnya agresi manusiawi oleh para elit yang masih memikirkan perutnya sendiri ketimbang nasib sesama manusia.

 Sudah sepantasnya para elit politik kita mawas diri Terkini Tragedi Diego Mendieta, Ketika Para Elite Buta Mata dan Hati

Diego Mendieta meninggal dunia sesudah terjangkit virus yang menjalar ke bab badan sampai otaknya, serta jamur candidiasis di bab tenggorokan sampai pencernaan. Pemain yang lahir pada 13 Juni 1980 ini meninggalkan sepakbola Indonesia dengan menyisakan cerita ironis dan menjadi tamparan telak bagi stakeholder sepakbola Indonesia yang bertikai.

Enam bulan sisa kontraknya bersama Persis Solo senilai 120 juta rupiah belum terbayar sampai ajal menjemputnya. Pun demikian dengan bonus penampilannya di Batik Cup lalu. Padahal bila dikalkulasi nilai 120 juta untuk jangka enam bulan gotong royong bukanlah beban berat untuk diselesaikan dibandingkan omzet rata-rata klub Divisi Utama Liga Indonesia yang lebih besar nilainya daripada itu.

Namun angka 120 juta rupiah itulah harga yang harus ditebus Diego Mendieta dengan nyawa. 120 juta rupiah itu pula nominal yang menjamin harkat hidup dan meraih asa bangga bagi Diego yang tidak sanggup pulang ke negaranya alasannya menunggu pembayaran hak yang terkatung-katung. Tidak terperinci siapa yang mesti bertanggung jawab pasca manajemen Persis Solo 'membubarkan diri' selepas berakhirnya kompetisi demam isu lalu.

Selama menunggu hak-hak yang tak kunjung terbayarkan Diego masih setia menemani klubnya bermain. Ia melakukannya meski tidak ada bantuan, biarpun itu hanya berupa paksaan atau punishment dari operator kompetisi kepada klub membayar kewajibannya. Perhatian saja minim, sumbangan apalagi. Ironis!

Perhatian kepada Diego justru tiba dan ditunjukkan Pasoepati(Suporter Persis Solo) dan FX Hadi Rudyatmo(Walikota Solo)ketika ia terbaring di rumah sakit. Para elit nampaknya harus melek dan membayangkan kesedihan yang harus ditanggung keluarga, istri dan belum dewasa Diego. Mereka(keluarga Diego) melepas Diego ke Indonesia untuk memutar roda penghidupan keluarga, apa daya yang terjadi justru cerita sebaliknya, Diego harus berpulang selamanya menghadap Sang Khalik.

Peristiwa meninggalnya Diego Mendieta yaitu buruknya potret perhatian para elit, baik pengurus organisasi(KPSI/PSSI), operator kompetisi(PT LI) sampai pengurus klub. Tak terhitung berapa liter kucuran keringat pengorbanan dan andilnya untuk menjaga berputarnya klub dan gambaran kompetisi. Diego nyaris hidup menjadi 'sukarelawan'.

Para elit sepakbola Indonesia harus instrospeksi. Perhatian kepada para pemain sungguh terbilang minim. Kejadian yang dialami Diego Mendieta bukanlah pertama kali. Sebelumnya alm. Jumadi Abdi(PKT Bontang) meninggal pasca pertandingan melawan Persela di tahun 2009 lalu. Masih gres kejadian yang menimpa Iqbal Samad(Persiba) ketika mengalami cedera parah pada kakinya pasca terkena petasan yang diakibatkan oleh penonton di Samarinda tidak menerima balasan serius dari operator kompetisi. Alih-alih mengambil tindakan untuk menunjukkan proteksi kepada para pemain, malah tidak ada agresi intensif dari operator kompetisi untuk mencegah kejadian berulang dikemudian hari.

Tindakan dan perhatian bukan saja pada bentuk kepastian terbayarnya hak pemain oleh masing-masing klub, namun juga proteksi kesehatan berupa asuransi dan perawatan rumah sakit yang memadai. Terkadang tidak semua pemain dibayar 'mahal' oleh klub baik dalam bentuk bahan dan fasilitas. Sebagian dari mereka hanya menerima bayaran 'sepantasnya' meski dituntut ekspektasi sebegitu tinggi oleh klub untuk menerima prestasi setinggi-tingginya.

Apa yang menimpa Diego Mendieta sanggup terjadi pada para pemain di klub dan kompetisi lain. Terutama bagi para pemain yang berlaga di bawah level kompetisi profesional, dan sejujurnya menerima akomodasi kesehatan dan kesejahteraan jauh dibawah para pemain yang berada di level kompetisi diatasnya.

Diharapkan para elit politik yang masih terus berlindung dalam kubangan konflik ini tidak saling lempar watu dan tunjuk tangan atas kejadian yang menimpa Diego Mendieta. Patut menjadi cermin bagi para elit tersebut untuk tidak banyak menebar opini destruktif dan jaga image di depan media semata.

Diego Mendieta memang bukanlah 'anak bangsa' Indonesia. Ia sebagai pemain sepakbola dilindungi hak-haknya sesuai dengan hukum yang digariskan FIFA. Dengan statusnya sebagai pemain dan warga negara asing(WNA) patut menjadi perhatian para elit yang masih menjaga dapat dipercaya politik individu dan kelompoknya dibandingkan dapat dipercaya bangsa dan keselamatan para pemainnya.

Mungkin saja perhatian 'semu' dari para elit tersebut tidaklah cukup untuk mencegah kejadian berulang. Diperlukan regulasi yang adil dan membela hak para pemain. Jika perlu penerapan hukuman yang tegas, mengikat dan konsisten harus dilakukan. Hilangkan pula budaya kompromi dan kolusi yang hanya menguntungkan salah satu pihak saja dan mengabaikan hak para proletar menyerupai halnya para pemain sepakbola kita.

Kaum elit tersebut harusnya sadar, sepakbola bukanlah ajang usaha politik. Sepakbola mengajarkan kita akan pentingnya fair play, berlakulah adil bukan kepada pimpinanmu namun juga para pemain yang kalian tegakan untuk diperas keringatnya. Sepakbola bukan pula ajang hingar bingar dan kemeriahan kompetisi tanpa mengacuhkan sisi manusiawinya.

Memang tidak salah Erwiyantoro, penulis Buku 'Sepakbola Indonesia Tertinggal 50 Tahun' kini saatnya kedua forum PSSI dan 'KPSI' harus legawa untuk instrospeksi semoga mempunyai lebih banyak waktu untuk melaksanakan pembenahan semoga tertib administrasi, disiplin organisasi dan profesional menjalankan roda manajemennya.

R.I.P Diego Mendieta
Sudah cukup pelanduk mati terinjak ditengah gajah bertarung...
(wearemania.net)