Selasa, 08 April 2014

Terkini Nirwan Bakrie, Aremania Dan Pilpres

Sejak muncul gagasan membentuk klub Arema Malang di masa 80-an, Nirwan Bakrie ialah sosok yang sangat bersahabat di indera pendengaran Aremania. Tercatat dalam sejarah klub, Nirwan ialah sosok yang membantu mimpi mendiang Acub Zaenal dan putranya Lucky Adrianda Zaenal mendirikan tim sepakbola.

Tanpa campur tangan pengusaha itu, mungkin Arema yang kini berubah nama menjadi Arema Cronus tak akan pernah ada. Seiring perjalanan waktu, Nirwan Bakrie hanyalah sosok yang tercatat dalam buku sejarah Arema saja, tanpa pernah muncul eksklusif di Malang.

Sejak muncul gagasan membentuk klub Arema Malang di masa  Terkini Nirwan Bakrie, Aremania dan Pilpres

Selama eksistensi Arema pula, pula sosok Nirwan Dermawan Bakrie masih misterius. Namun, sosok yang kini memegang 100 persen saham Singo Edan tersebut balasannya menampakkan dirinya di Malang. Penampakan yang kemudian memunculkan bermacam-macam spekulasi alias isu.

Nirwan tiba membawa buah tangan bagus bagi Aremania, yakni rencana pembangunan stadion serta mimpi mengakibatkan Arema tim yang lebih bergengsi. Rencana yang menciptakan Aremania mabuk kepayang, apalagi diucapkan eksklusif dari bibir seorang Nirwan Bakrie.

Terlepas dari relasi big boss dengan klub sepak bola miliknya, segudang pertanyaan juga muncul dari kehadiran Nirwan di Malang. Seorang rekan Aremania merasa kurang nyaman alasannya ialah kedatangan tersebut dirasakannya bernuansa politis, terutama dikaitkan dengan sejumlah fakta.

Kebetulan kedatangan Nirwan bertepatan dengan kampanye sebuah partai politik di Malang. Bukan belakang layar lagi, Aburizal Bakrie yang notabene abang kandung Nirwan, menjadi calon presiden dari partai tersebut. Rekan saya tadi kemudian bertanya, "Setelah sekian tahun, kenapa munculnya sekarang...?"

Pertanyaan itu semakin besar alasannya ialah seorang big boss mengunjungi klubnya bukan ketika pertandingan besar. Nirwan tiba eksklusif ke stadion dan 'hanya' disuguhi pertandingan ujicoba berformat trofeo yang melibatkan Arema Cronus, Persikoba Batu serta Persekam Metro FC.

Mungkin alasannya ialah Nirwan gres mempunyai waktu luang di tengah kesibukannya sebagai pengusaha. Mungkin, berdasarkan saya semua berhak memberi evaluasi terkait eksistensi Nirwan serta kampanye partai politik berwarna kuning, selaras dengan warna kostum Arema di ujicoba trofeo tersebut.

Kalau pun kemudian ada jadwal tertentu yang publik tidak tahu, berdasarkan saya juga wajar-wajar saja. Keterlibatan seorang politisi di klub sepakbola bukan sesuatu yang terlarang. Silvio Berlusconi, pemilik AC Milan juga seorang politikus dan juga menjadi perdana menteri Italia.

Aremania terlihat susah payah menampik cibiran bahwa mereka bukan alat politik dan tidak akan pernah terlibat dalam urusan politik. Tak sedikit supporter rival yang menyindir keterlibatan partai di tim dengan kostum pujian biru. Kenapa situasi ini dijadikan materi cemoohan ?

Dalam pandangan saya, kondisi sepak bola Indonesia yang mengakibatkan situasi ini dianggap miring. Publik lebih banyak didominasi memandang urusan politik sangat kuat pada prestasi atau eksistensi sebuah klub di kompetisi. Ini rujukan pikir klasik dan berdasarkan saya sangat "bodoh". Bakrie yang pernah kuat di PSSI, dianggap bakal memberi laba bagi Arema, begitu sederhananya.

Politik juga dianggap sebagai momok yang mengacaukan sepak bola nasional. Sepak terjang politikus di organisasi sepakbola, banyak sekali manuver politis yang sering tak masuk akal, sikut-sikutan demi kepentingan Goalongan, sampai permusuhan pribadi, ialah warna-warni sepak bola Indonesia. Dari situ balasannya publik bola alergi dengan yang namanya politik di olah raga paling digemari masyarakat Indonesia.

Saya menyadari posisi Aremania sangat sulit. Mau tak mau mereka menghadapi cemoohan bahwa tim Singo Edan identik dengan salah satu partai politik. Padahal Nirwan Bakrie sangat berbeda dengan Aburizal Bakrie. Secara praktis, Nirwan tidak pernah larut eksklusif dalam politik ibarat yang dilakukan Ical. Tapi rupanya rival tidak mau tahu dengan itu. Bagi mereka Bakrie ya tetap Bakrie, apa pun nama depannya.

Dari ulasan di atas, saya menyimpulkan aroma politis di Singo Edan sepenuhnya tergantung Aremania sendiri. Mereka sendiri yang memilih terlibat atau tidaknya di politik praktis. Sejauh Arema tetap berjalan di rel profesionalisme sepak bola nasional, tidak ada yang perlu dicemaskan.

Apa pun situasinya ketika ini, harus diakui Arema Cronus justru sangat beruntung mempunyai big boss Nirwan Bakrie. Sedikit sekali sosok yang mempunyai kesepakatan di dunia sepak bola ibarat beliau sampai membeli klub ibarat Brisbane Roar (Australia) dan CS Visse (Belgia). Semua tentu tak dapat membayangkan bagaimana nasib Arema jikalau awal ekspresi dominan kemudian tidak diakuisisi Bakrie. Mungkin tim yang berdiri pada 11 Agustus 1987 tersebut masih mengalami defisit finansial dan tidak menjadi tim yang kompetitif ibarat sekarang.

Sejak muncul gagasan membentuk klub Arema Malang di masa  Terkini Nirwan Bakrie, Aremania dan Pilpres

Komunitas selalu menjadi komoditi dalam politik. Aremania yang mempunyai domain sangat besar dan terbilang solid, tentu menggiurkan bagi semua partai politik untuk mencari dukungan. Hanya saja, tanpa disadari para politikus, partai politik justru menghadapi resistensi besar di dunia olahraga.

Saya melihat sebagian besar Aremania justru ogah dikaitkan dengan urusan politik, baik pemilu legislatif (Pileg) maupun pemilihan presiden (Pilpres). Jadi, seandainya saja kedatangan Nirwan Bakrie mempunyai jadwal sampingan yakni membantu partai kuning, sepertinya tak akan banyak memengaruhi pilihan politis Aremania.*


(wbs/koransindo)